Rizki Nur Fadhilah, seorang penjaga gawang muda berusia 18 tahun, kini terjebak dalam situasi yang sangat memprihatinkan. Diduga menjadi korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO), Rizki telah mengalami perjalanan yang absurd dan menyedihkan yang dimulai dari tawaran bermain sepak bola yang menggiurkan di Kamboja.
Kisah Rizki berawal ketika ia mendapat tawaran bermain di Medan dari seseorang yang dikenal lewat media sosial. Diajak oleh orang yang mengaku sebagai manajemen klub sepak bola, Rizki berangkat dengan harapan besar untuk mewujudkan mimpinya di dunia sepak bola.
“Awalnya, dia begitu antusias dan yakin kontrak yang ditawarkan adalah kesempatan emas. Namun, setelah tiba di Medan, segalanya berbalik menjadi mimpi buruk ketika dia dibawa ke Malaysia dan kemudian ke Kamboja,” beber Dedi Solehudin, ayah Rizki.
Di Kamboja, Rizki tidak hanya ditinggalkan tanpa arah, tetapi juga dipaksa bekerja dalam situasi yang sangat tidak manusiawi. Dedi menjelaskan bahwa anaknya dipaksa mencari orang-orang kaya, khususnya warga China, untuk dijadikan korban penipuan daring. Keberanian dan ketahanan Rizki pun diuji dalam kondisi yang mengkhawatirkan ini.
Perjalanan Tragis Seorang Pemuda dalam Mencari Mimpi
Keputusan Rizki untuk mengikuti tawaran tersebut ternyata membawa konsekuensi yang sangat tidak diharapkan. “Awalnya, dia menerima tawaran tersebut tanpa memikirkan risiko yang mungkin dihadapi,” ungkap Dedi dengan nada penuh kesedihan.
Setelah di Kamboja, Rizki diawasi ketat dan tidak diperbolehkan untuk berkomunikasi dengan keluarganya. Dalam keputusasaan, ia akhirnya bisa memberitahu ibunya yang tengah bekerja di luar negeri mengenai situasi buruk yang dihadapinya.
“Anak saya mesaj dengan hati-hati. Dia bilang, ‘Pak, saya dijebak’. Kalimat ini masih terngiang di telinga saya hingga kini,” imbuh Dedi. Rizki tidak hanya berjuang melawan penipuan, tetapi juga kekerasan fisik dari para pelaku yang tidak segan-segan untuk menyiksanya jika ia tidak memenuhi target.
Kekerasan dalam Pekerjaan dan Ketiadaan Harapan
Kegundahan jiwa Rizki semakin dalam saat ia menceritakan perlakuan terhadap dirinya. Dalam setiap harinya, ia harus bekerja dengan keras untuk mendapatkan data dan nomor kontak orang-orang yang potensial untuk ditipu.
“Dia harus mencari 20 nomor telepon orang-orang kaya dalam sehari,” jelas Dedi. Jika gagal memenuhi target tersebut, Rizki pun menerima siksaan fisik yang tidak manusiawi.
Modus yang dilakukan oleh pelaku sangat mencolok. Rizki harus berpura-pura menjadi perempuan agar korban lebih percaya dan bersedia mentransfer uang. “Rizki bekerja dari pagi hingga tengah malam dan seringkali tidak diperbolehkan untuk beristirahat,” lanjut Dedi dengan nada penuh kepedihan.
Tindakan Lanjut yang Diambil Keluarga Rizki
Setelah mendapatkan kabar mengenai kondisi anaknya, Dedi segera mengambil langkah untuk melaporkan kejadian ini kepada pihak berwenang. Ia mendatangi Dinas Ketenagakerjaan di kabupaten asalnya dan juga Balai Pelayanan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP3MI).
“Saya sudah melaporkan ke semua instansi yang ada, namun tanggapan yang saya terima sangat mengecewakan. Tidak ada tindak lanjut yang berarti,” ungkapnya dengan penuh kecewa.
Upaya Dedi agar pihak-pihak berwenang dapat memberikan bantuan untuk menyelamatkan Rizki dari situasi berbahaya semakin mendesak. “Ini adalah masalah yang serius. Ini menyangkut nyawa anak saya, yang setiap hari disiksa,” tegasnya, sambil berharap agar ada tindakan cepat dari masyarakat dan pihak berwenang.
